Oleh: Arham MS (Ketua Umum Lembaga Kajian Dan Advokasi HAM Indonesia)
JURNAL – Saat ini kebobrokan negara makin terlihat jelas disebabkan dari para pemimpin, baik pemimpin di tingkat pusat maupun pemimpin di level daerah yang dibuktikan dengan keterlibatannya dalam kejahatan perampokan uang negara/daerah. Jumlah mantan kepala daerah dan kepala daerah aktif yang terjerat kasus korupsi dari waktu ke waktu terus bertambah.
Bahkan menurut catatan JURNAL, lebih separuh kepala daerah telah berubah menjadi maling yang perlahan menggerogoti Indonesia. Yang sangat mengkhawatirkan karena para maling-maling itu ingin tampil sebagai orang yang tidak berdosa. Lalu dengan uang dari hasil curian itu mereka gunakan untuk membeli. Tampil suci di hadapan publik, namun mencuri di belakang.
Sudah menjadi rahasia umum hampir di setiap institusi pemerintah dari RT sampai tingkat lembaga tinggi negara terjangkit korupsi. Misalnya, dalam mengurus surat-surat, si pembuat akan dikenakan biaya lain-lain di luar biaya resmi. Di lingkungan departemen yang melayani kesejahteraan rakyat, banyak dana sosial yang diselewengkan dan tidak sampai ke tangan yang berhak. Ironisnya, Departemen Agama dan Departemen Pendidikan Nasional yang bertugas mencetak generasi penerus bangsa justru menjadi surganya koruptor.
Baca juga: Penguasa Korupsi, Rakyat Dikorbankan
Korupsi saat ini sudah mengancam keselamatan bangsa dan negara sehingga banyak teriakan agar segera diambil tindakan tegas dan keras terhadap para koruptor. Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar NU belum lama ini, misalnya, merekomendasikan agar koruptor dijatuhi hukuman mati. Untuk menyelamatkan bangsa dan negara, oleh konstitusi, kita memang diizinkan melakukan tindakan-tindakan darurat, bahkan kalau perlu dan terpaksa dengan cara mengabaikan aturan-aturan formal konstitusional.
Adagium klasik yang hampir menjadi dalil dalam penegakan konstitusi sampai saat ini berbunyi, “Salus Populi Supreme Lex”: keselamatan rakyat (bangsa dan negara) adalah hukum yang tertinggi. Secara ekstrem ada yang mengatakan, keselamatan bangsa dan negara menjadi hukum yang lebih tinggi daripada konstitusi sebab konstitusi sebenarnya bersumber dari keinginan membentuk, memelihara, dan menyelamatkan bangsa dan negara.
Baca juga: Darurat Dinasti
Untuk konteks Indonesia, UUD 1945 menganut juga pandangan yang sama. Tujuan negara yang sekaligus menjadi fungsi pemerintahan yang pertama dan utama, sebagaimana dinyatakan dalam Alinea IV Pembukaan UUD 1945, adalah melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. Tugas utama dalam penyelenggaraan negara adalah menjaga keutuhan bangsa dan negara dari perusakan dalam bentuk apa pun.
Menurut Pasal 11 UUD 1945, untuk menjaga negara dari serangan fisik negara lain, Presiden menyatakan perang dengan persetujuan DPR. Bahkan di dalam Pasal 12 dan Pasal 22 ayat (1) ada istilah bahaya dan istilah kegentingan. Di dalam Pasal 12 dinyatakan bahwa Presiden menyatakan keadaan bahaya yang syarat-syarat dan akibatnya ditetapkan dengan undang-undang.
Adapun Pasal 22 ayat (1) menyatakan bahwa jika terjadi kegentingan yang memaksa Presiden berhak mengeluarkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang (perppu). Kedua keadaan, bahaya dan kegentingan, tersebut memberi wewenang kepada Presiden untuk melakukan langkah-langkah khusus, bahkan dengan cara yang tidak normal atau tidak standar, guna menyelamatkan bangsa dan negara.
Jika ada agresi atau ancaman fisik dari negara lain presiden dapat segera meminta persetujuan DPR, tanpa prosedur formal yang bertele-tele, untuk menyatakan dan memimpin perang agar bangsa dan negara bisa selamat. Jika terjadi kegentingan yang memaksa maka presiden dapat membuat perppu, satu bentuk peraturan perundang-undangan yang derajatnya setingkat dengan undang-undang, tetapi pembuatannya tidak harus dibahas lebih dulu dengan DPR seperti dalam keadaan normal.
Kalau kita merujuk ke Pasal 12 dan Pasal 22 ayat (1) saja secara khusus tugas menyelamatkan dan menjaga keutuhan bangsa dan negara harus mengantisipasi atau menghadapi dua hal yang mengancam secara serius yakni “keadaan bahaya” dan ”keadaan genting”.
Jika dua hal tersebut muncul maka demi “Salus populi supreme lex” negara harus melakukan langkah-langkah cepat dan khusus. Tujuannya agar bangsa dan negara selamat dan utuh. Pada saat ini ancaman yang tampak di depan mata kita bukanlah keadaan “bahaya” dan “kegentingan” seperti yang bisa dipahami dari ketentuan Pasal 12 dan Pasal 22 ayat (1) UUD 1945.
Sekarang ini ada jenis ancaman bahaya dan kegentingan lain, yakni merajalelanya korupsi serta lemahnya penegakan hukum dan keadilan. Jika korupsi merajalela, hukum dan keadilan tidak tegak, dan negara tidak berdaya terhadapnya, maka ancaman kehancuran bagi bangsa dan negara menjadi nyata.
Berdasarkan perjalanan sejarah bangsa-bangsa terdahulu, kehancuran suatu bangsa dan negara senantiasa terjadi pada negara dan bangsa yang pemerintahannya tidak mampu menegakkan hukum dan keadilan.
Dalam agama Islam ada hadis Nabi Muhammad Rasulullah yang intinya mengajarkan bahwa hancurnya bangsa-bangsa sebelum kita disebabkan, “Kalau ada orang kuat secara politik dan ekonomi melanggar hukum tidak diapa- apakan, sedangkan kalau ada orang lemah melanggar hukum langsung dijatuhi hukuman.” Itu adalah ketidakadilan. Makanya Ali Bin Abi Thalib yang kemudian dikutip oleh filosof politik Islam, Ibnu Taymiah, mengelaborasi hadis tersebut dengan mengatakan, “Akan jaya dan abadilah suatu negara yang diperintah dengan adil meskipun negara itu bukan negara kaum Muslimin, dan akan hancurlah suatu negara yang diperintah dengan tidak adil (zalim), meskipun negara itu adalah negara orang-orang Islam.”
Ancaman bagi kelangsungan bangsa dan negara kita memang bukan hanya apa yang secara eksplisit tertuang di dalam Pasal 12 dan Pasal 22 ayat (1) UUD 1945, yaitu “bahaya” dan “kegentingan”; melainkan ada yang lebih ganas dari itu yaitu korupsi sistemik. Kalau korupsi dan ketidakadilan terus merajalela, maka disintegrasi dan kehancuran bisa terjadi.
Langkah-langkah luar biasa yang diperlukan untuk menuju Indonesia bebas korupsi antaralain, pertama, seluruh kalangan masyarakat harus mendorong pemberlakuan hukuman bagi koruptor dengan hukuman minimal 20 tahun penjara dan maksimal hukuman mati, ditambahkan lagi dengan pasal pembuktian terbalik dan pemiskinan. Kedua, mendorong penguatan kelembagaan KPK, dan melawan segala bentuk usaha pelemahan KPK. Pada akhirnya, langkah apapun dalam pemberantasan korupsi harus pula diiringi dengan menumbuhkembangkan budaya zero tollerance to corruption.