banner 1200x583

Seksi tapi Busuk

Oleh: Ketua Umum Aliansi Media Jurnalis Independen Republik Indonesia (AMJI-RI) Arham MS

 

banner 1200x783

JURNAL – Saat ini Indonesia diterjang tsunami korupsi. Setiap hari kita membaca dalam tabloid, majalah, dan surat kabar tentang kejahatan perampokan uang rakyat yang melibatkan para pejabat negara dan daerah. Setelah terjadinya pergeseran, Indonesia menjadi demokrasi lebih dari satu dekade yang lalu, banyak yang tergoda untuk bertanya apakah kasus korupsi yang merajalela selama periode ini sebenarnya adalah buah dari demokrasi.

Demokrasi mendorong perilaku rent seeking (penambahan pendapatan yang bukan berasal dari aktivitas ekonomi yang mereka lakukan) di kalangan pengusaha dan para politisi. Para politisi membutuhkan dana untuk memenangkan pemilu dan pengusaha memberikan dana yang dibutuhkan oleh para politisi. Setelah para politisi terpilih, mereka membayar kembali uang/dana tersebut kepada pengusaha dalam bentuk keistimewaan dan keuntungan-keuntungan dari kebijakan negara dan daerah.

Sebagai akibatnya, para politisi yang terpilih tidak mempedulikan kepentingan dari orang-orang yang telah memilih mereka, seperti pengentasan kemiskinan, peningkatan pelayanan kesehatan dan pendidikan. Mereka hanya berpikir bagaimana caranya untuk membayar biaya selama proses pemilu.

Sejak 2004 hingga Juli 2012 ada ribuan pejabat daerah yang terlibat korupsi. Mereka mulai dari gubernur, walikota, bupati hingga anggota dewan perwakilan rakyat daerah. Sepanjang kurun waktu itu ada 277 gubernur yang terjerat korupsi.

Di tingkat kabupaten dan kota dari total 16.267 kepala daerah, ada 2.553 yang terlibat kasus. Itu belum meliputi bawahan mereka yang kongkalikong melakukan kejahatan tersebut. Secara umum, minimal ada lima bawahan yang terlibat kasus sama. Adapun jumlah anggota DPRD juga tidak kecil. Dari 2008 jumlah anggota dewan di daerah, ada sekitar 431 yang terlibat korupsi.

Sulit terbantahkan lagi bahwa korupsi menjadi-jadi dalam sistem demokrasi. Ini bukan tudingan kosong tanpa bukti. Selain akibat sanksi pidana yang terbilang ringan, korupsi di alam demokrasi diakibatkan oleh demokrasi yang memang berbiaya tinggi.

Apalagi setelah muncul kebijakan Pilkada. Korupsi di pemerintahan dan parpol kian kencang setelah UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah diberlakukan. Ini menyebabkan biaya politik mendadak melonjak tinggi dibanding masa-masa sebelumnya. Melalui UU tersebut rakyat langsung memilih kepala daerahnya sendiri. Akibatnya, kebutuhan dana calon kepala daerah menjadi besar.

Calon kepala daerah banyak yang bergerilya mencari dana kampanye. Dana itu bisa didapat dengan dua cara. Pertama, melalui sumbangan anggota mereka yang duduk di legislatif. Ini akan memaksa anggota dewan menggelembungkan pundi-pundi kekayaan mereka dengan cara ilegal seperti korupsi, fee proyek atau mark up proyek, dan sebagainya demi membiayai Pilkada dari parpol mereka. Kedua, menerima sumbangan dari broker-broker politik yang menginvestasikan uang mereka dalam Pilkada kepada calon-calon kepala daerah.

Saat sang calon menjabat kepala daerah, mereka akhirnya terjerat rente dalam jumlah besar. Akhirnya, mereka tunduk pada kemauan para broker tersebut untuk memuluskan proyek-proyek bisnis mereka. Sebagai contoh, dalam Pilkada Jawa Barat pada 2013 lalu setiap kandidat gubernur harus menyiapkan dana kampanye Rp25 juta untuk tiap desa. Di Jawa Barat ada  5.953 desa. Bila seluruh desa itu disambangi setiap calon gubernur Jawa Barat maka dibutuhkan dana sekitar Rp175-350 miliar. Jelas tidak mungkin dana sebesar itu didapat dengan hanya mengandalkan sumbangan kader parpol atau simpatisan mereka.

Untuk mencegah terus ambruknya sistem demokrasi, para politisi dan pemerintah berupaya meminimalisasi terjadinya penyanderaan parpol oleh broker atau investor politik. Caranya adalah dengan mengatur besaran dana sumbangan kepada parpol. Dengan adanya aturan tersebut maka diharapkan parpol akan tetap independen, tidak terkooptasi para donaturnya. Namun, dalam kenyataannya, DPR justru menjadikan celah kolusi dengan para broker politik kian lebar.

Abraham Lincoln, Presiden AS ke-16 memberikan penjelasan tentang demokrasi sebagai government of people, by the people, for the people. Kredo inilah yang membuat orang demikian memuja demokrasi karena dianggap mampu memuaskan aspirasi seluruh masyarakat. Akan tetapi, perjalanan sejarah membuktikan bahwa demokrasi hanyalah mainan bagi parpol dan kaum kapitalis.

Profesor Sosiologi Universitas Colombia C. Wright Mills memberikan antitesis terhadap pernyataan Lincoln. Demokrasi tidak pernah benar-benar memihak rakyat. Menurut dia, struktur masyarakat demokrasi terbagi menjadi tiga level. Yang paling bawah adalah rakyat jelata yang tidak berdaya, tidak terorganisir, terbelah dan dimanipulasi oleh media massa untuk mempercayai demokrasi sebagai sistem terbaik. Pada bagian di atasnya adalah Kongres/DPR, partai politik dan kelompok politik atau yang disebut sebagai pemimpin politik.

Posisi paling puncak adalah yang disebut oleh Mills sebagai ‘the power elite’ yang terdiri atas militer, pemerintah dan perusahaan-perusahaan besar. Kelompok inilah yang memainkan peranan penting dalam sebuah negara. Mills mengatakan, pemerintah dapat memperkuat militer dan para pengusaha dengan kebijakan mereka. Adapun pengusaha akan menggelontorkan uang untuk membantu kampanye politik mereka.

Alhasil, berharap bahwa demokrasi akan memenuhi aspirasi rakyat banyak dan mensejahterakan mereka ibarat pungguk merindukan rembulan; angan-angan kosong yang jauh dari realita. Demokrasi tampak seksi sehingga banyak orang tergoda untuk memujanya, namun kenyataannya demokrasi sangat busuk. Demokrasi hanya manis dalam teori, tetapi busuk dalam praktik. Perjalanan sejarah bangsa ini telah memberikan pelajaran bahwa demokrasi tak kunjung menuntaskan cita-cita rakyat. (*)

banner 2000x1100

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *