Oleh: Ketua Umum LAK-HAM INDONESIA, Arham MS
JURNAL – Sungguh sangat ironis bila menyaksikan fakta banyaknya kepala daerah yang berubah menjadi perampok uang negara. Kepala daerah seharusnya bekerja untuk rakyat ternyata pura-pura bekerja tetapi di belakang rakyat mencuri. Ini berarti dana pembangunan untuk rakyat di daerah tersedot ke kantong pribadi pejabat.
Lebih ironis lagi karena seharusnya seseorang yang sudah terindikasi atau tersangka korupsi, dijauhi oleh masyarakat. Tetapi, faktanya kasus korupsi kepala daerah biasanya masih ambigu untuk diterima masyarakat.
Sebagian masyarakat masih tidak percaya dan menganggap sebagai rekayasa politik yang tidak akan berlanjut ke meja hijau. Sebagian lagi sudah cerdas dan kritis bisa menerima fakta bahwa kepala daerahnya melakukan korupsi dan akan dituntaskan hingga ke balik jeruji besi.
Jumlah kepala daerah yang tersangkut korupsi setiap tahun meningkat dan menyebar di seluruh provinsi di Indonesia. Pada 2013, sebanyak 309 kepala daerah di Tanah Air terjerat kasus korupsi. Banyaknya kepala daerah yang tersandung kasus korupsi menimbulkan keprihatinan semua pihak.
Selain karena persoalan integritas, setidaknya terdapat beberapa faktor pendorong korupsi bagi kepala daerah selama dia menjabat.
Pertama, budaya korupsi di kalangan kepala daerah merupakan akibat dari biaya politik yang tinggi. Seorang calon walikota/bupati misalnya harus mempersiapkan dana Rp5-10 miliar dan calon gubernur Rp20-100 miliar.
Jumlah itu tentu masih tergolong minim dalam memenangkan perhelatan pilkada. Dana itu dipakai untuk mendapatkan dukungan partai politik, kepentingan kampanye, biaya tim sukses, honor saksi di tempat pemungutan suara, serta biaya tak terduga lainnya. Bandingkan dengan pemasukan “halal” seorang wali kota/bupati sebesar 300-400 juta setiap tahunnya.
Lebih besar pasak dari pada tiang. Jika sudah begini, akan sangat susah menuntut kepala daerah untuk melaksanakan pemerintahan yang bersih dan jauh dari praktek korupsi. Konsekuensi dari ongkos politik yang tinggi tersebut, akhirnya membuat kepala daerah mengakali pelbagai sumber dana yang ada untuk balik modal sekaligus untung.
Biasanya begitu menjabat, APBD-lah yang mereka gunakan. Anggaran daerah (APBD) ini pula yang kemudian kembali digunakan oleh mereka yang telah menjabat dan kembali ikut menjadi peserta Pilkada.
Kedua, terbukanya peluang korupsi di daerah. Banyaknya kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi, salah satunya akibat banyaknya celah dalam regulasi yang bisa dipakai untuk menyimpangkan anggaran. KPK pada 2010 mengumumkan temuan 18 modus korupsi di daerah.
Dua di antaranya paling sering dilakukan kepala daerah, yaitu penggelembungan biaya (mark-up) dalam proyek pengadaan barang dan jasa. Modus lainnya, penggunaan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk kepentingan pribadi. Modus lainnya adalah menggunakan dana bantuan sosial ataupun dana hibah yang pertanggungjawabannya sangat fleksibel.
Kepala daerah yang mencalonkan kembali (incumbent) paling sering memanfaatkan peluang ini, karena memiliki berbagai akses anggaran resmi daerah dan birokrasi sehingga bisa mudah menang. Modus ini sering kali ditemukan di daerah yang bersiap menghadapi proses pilkada. Keuangan daerah memang menjadi sektor paling rawan korupsi dengan APBD sebagai obyek korupsinya.
Ketiga, lemahnya pengawasan di tingkat daerah. Bukan rahasia umum, jabatan-jabatan penting, baik di kedinasan maupun di bidang pengawasan di daerah, dikuasai oleh pihak yang pro-kepala daerah. Jika pun ditemukan terjadi penyimpangan, biasanya diselesaikan secara kekeluargaan atau hanya diberikan sanksi berupa teguran atau sanksi administratif lainnya yang tidak menjerakan.
Keberadaan Badan Pengawas Daerah atau inspektorat wilayah tidak berjalan secara optimal, karena sifat kerjanya yang pasif. Hal ini diperparah oleh tidak berjalannya pengawasan dari parlemen daerah maupun kalangan internal partai sendiri serta belum tuntasnya pendidikan politik di tingkat masyarakat.
Keempat, buruknya rekrutmen kandidat kepala daerah di partai politik. Tradisi politik uang masih dijadikan pedoman bagi parpol untuk menerima calon yang mengajukan diri menjadi kepala daerah. Kriteria integritas, kualitas, kredibilitas, maupun jiwa kepemimpinan sering kali tidak diperhitungkan. Pada akhirnya, orang yang dipromosikan parpol menduduki jabatan kepala daerah, sebagian memiliki masalah dengan penegak hukum.
Selain itu, perlu dipertanyakan partai politik yang memberikan dukungan atau rekomendasi kepada kepala daerah bermasalah untuk mencalonkan diri lagi dengan alasan belum ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Sikap partai politik yang demikian itu secara tidak langsung juga ikut melindungi perbuatan pidana yang dilakukan seorang kepala daerah.
Sejumlah solusi dalam menghindari munculnya kembali korupsi oleh kepala daerah, antara lain efisiensi biaya politik dengan menyelenggarakan pilkada secara serentak, melarang pembiayaan bantuan sosial selama pilkada berlangsung, dan yang paling utama adalah reformasi di partai politiknya sendiri. Penguatan fungsi pengawasan dan penegakan hukum yang keras setidaknya dapat meminimalkan munculnya korupsi oleh kepala daerah.
Banyaknya kepala daerah yang terlibat korupsi juga mencerminkan kegagalan partai politik dalam melakukan kaderisasi pemimpin lokal yang punya integritas tinggi. Untuk itu, partai-partai politik seharusnya serius menyiapkan calon pemimpin daerah yang punya kemampuan, bersih, dan bervisi pembangunan untuk kesejahteraan rakyat.
Paling penting adalah merevisi peraturan perundangan yang mengatur persyaratan menjadi kepala daerah yang masih memberi kesempatan kepada tersangka atau terdakwa kasus hukum untuk mengajukan diri sebagai calon kepala daerah. Syarat integritas harus menjadi prioritas yang tidak bisa ditawar untuk menjadi calon pemimpin daerah. Hal ini penting untuk mencegah calon koruptor atau bahkan koruptor menduduki jabatan kepala daerah dan merampok kesejahteraan rakyat di daerah.
Terakhir, masyarakat secara luas, media massa, LSM, dan akademisi harus menjadi pengontrol yang efektif serta secara intens mengungkap setiap ada dugaan praktik korupsi kepala daerah yang dapat mengancam dan menggerus hak-hak rakyat. Para ulama dan agamawan juga seharusnya lebih banyak berbicara tentang bahaya korupsi dan menfatwakan agar tidak memilih koruptor menjadi kepala daerah.