JURNAL – Selama memasuki tahapan Pilkada 2024, sejumlah wilayah provinsi, kabupaten dan kota di Indonesia dilanda banjir janji. Padahal, banjir janji di Pilpres dan Pileg belum surut.
Saat ini, tahapan kampanye Pilkada masih berlangsung, sehingga janji-janji politik masih mengalir deras dari mulut para kontestan Pilkada. Janji-janji begitu manis dan menggiurkan bagai angin surga. Nah, apakah janji-janji politik tersebut berharga bagi pemilih setelah calon tersebut terpilih sebagai kepala daerah?.
Janji-janji politik kandidat Pilkada hanya berlaku selama kampanye. Setelah kampanye, seluruh janji tersebut tidak ada harganya. Jika kandidat terpilih hendak mewujudkannya, Alhamdulillah. Tetapi, jika kandidat tidak merealisasikan janjinya, maka itulah janji politik. Janji sifatnya cuma omongan doank, bukan kontraktual, sehingga tidak ada konsekuensinya. Ingat, sebesar harapan terhadap janji, sebesar itupula kekecewaan yang akan ditanggung.
Jika ditinjau dari segi hukum, janji politik tidak memenuhi unsur untuk dapat dikatakan sebagai janji yang dapat dituntut secara perdata. Sebabnya, salah satunya adalah, tidak ada perikatan tertulis antara pengobral janji dengan pihak yang doyan menerima janji. Lalu, tidak ada juga persetujuan kedua belah pihak. Sehingga, disengaja atau tidak disengaja untuk tidak tepat janji, pengobral janji tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan wanprestasi.
Oleh karena itu, janganlah melihat janji-janji politik kandidat Pilkada tapi lihatlah orang yang berjanji tersebut, apakah memang punya kapasitas, kapabilitas, serta integritas, untuk menepati janji janji yang diucapkan selama kampanye. Punyakah kecakapan dan pengalaman untuk merealisasikan janji yang diucapkan dan melaksanakan tugas-tugas jabatan yang akan diemban ketika terpilih. Selamat mendengar janji. (*)