JURNAL JAKARTA – Utang pemerintah menembus Rp8.560,36 triliun hingga 31 Oktober 2024 atau pada masa awal pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
Angka itu meningkat Rp86,46 triliun atau 1,02 persen dibandingkan bulan sebelumnya, Rp8.473,90 triliun. Selain secara nominal, kenaikan juga terjadi pada rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) dari 38,55 persen menjadi 38,66 persen.
“Rasio utang per akhir Oktober 2024 yang tercatat 38,66 persen terhadap PDB, tetap konsisten terjaga di bawah batas aman 60 persen PDB sesuai UU Nomor 17/2003 tentang Keuangan Negara,” tulis Kementerian Keuangan (Keuangan) dalam laporan APBN KiTA, Kamis (28/11/2024).
Jika dirinci, mayoritas utang pemerintah berupa surat berharga negara (SBN) senilai Rp7.550,7 triliun atau setara 88,22 persen dari total utang. Sementara, Rp1.009,66 triliun atau 11,79 persen sisanya berupa pinjaman.
Dari total utang SBN, nominal SBN domestik per akhir Oktober 2024 sebesar Rp6.606,68 triliun, yang terdiri dari Surat Utang Negara Rp5.104,38 triliun dan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) sebesar Rp1.502,30 triliun.
Sementara, nilai SBN valuta asing sebesar Rp944,02 triliun, terdiri dari Surat Utang Negara Rp912,61 triliun dan SBSN Rp31,41 triliun.
Selanjutnya, utang berupa pinjaman pemerintah terdiri dari pinjaman dalam negeri sebesar Rp42,25 triliun dan pinjaman luar negeri sebesar Rp967,41 triliun.
Pemerintah mengutamakan pengadaan utang dengan jangka waktu menengah-panjang dan melakukan pengelolaan portofolio utang secara aktif.
Per akhir Oktober 2024, profil jatuh tempo utang pemerintah Indonesia disebut cukup aman dengan rata-rata tertimbang jatuh tempo (average time maturity/ ATM) di 8 tahun.
“Pengelolaan portofolio utang berperan besar dalam menjaga kesinambungan fiskal secara keseluruhan. Oleh karena itu, pemerintah konsisten mengelola utang secara cermat dan terukur dengan menjaga risiko suku bunga, mata uang, likuiditas dan jatuh tempo yang optimal,” jelas Kemenkeu. (TIM)