JURNAL – Suhu politik menjelang pencoblosan pada Pilkada 2024 terasa semakin panas. Saling sindir, saling ledek, dan saling serang terutama oleh para pendukung dan tim pemenangan membuat tensi politik menjadi tinggi. Tim pemenangan dan pendukung saling serang terhadap lawan politiknya.
Saling serang lawan politik merupakan hal yang wajar saja dalam sebuah kontestasi, selama dalam taraf wajar dan masih seputar pertarungan ide dan kemampuan Paslon.
Cuma yang terjadi dan dilakukan kebanyakan tim pemenangan dan pendukung adalah, serangan ke pihak lawan politik dengan merendahkan dan menghina Paslon lain. Bukan ide dan gagasan Paslon lain yang diserang, tetapi pribadi calon diserang.
Tindakan seperti ini justeru menjadi tindakan yang merugikan Paslon yang didukungnya, bukan untuk meraih simpati atau mempengaruhi agar orang lain untuk mendukung Paslon yang didukungnya.
Sering terdengar istilah “negative campaign dan black campaign”. Istilah negative campaign adalah menciptakan persepsi di publik bahwa gagasan lawan itu keliru, tidak baik, tidak efektif, tidak relevan, dan semacamnya.
Sedangkan black campaign justeru hal ini dilarang sebab isinya hanya menghina, merendahkan, dan mengolok pribadi lawan. Bahkan black campaign bisa jatuh kepada perbuatan pidana.
Jadi, terdapat perbedaan antara kampanye negatif atau negative campaign dengan kampanye hitam atau black campaign. Kampanye negatif boleh saja, sedangkan kampanye hitam dilarang dan dapat dikenakan sanksi pidana.
Pasal 280 ayat (1) huruf c berbunyi, “menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon, dan/atau peserta pemilu yang lain.” Pasal 521, “Setiap pelaksana, peserta, dan/atau tim Kampanye Pemilu yang dengan sengaja melanggar larangan dalam Pasal 280 ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, g, h, i, atau j, dipidana penjara paling lama dua tahun dan denda paling banyak 24 juta rupiah.”
Jika kampanye negatif dilakukan dengan menunjukkan kelemahan dan kesalahan pihak lawan politik, maka kampanye hitam adalah menuduh pihak lawan dengan tuduhan palsu atau belum terbukti, atau melalui hal-hal yang tidak relevan terkait kapasitasnya sebagai pemimpin.
Sebagai contoh, kampanye negatif dengan mengumbar data petahana oleh pihak lawan tentang janji-janji yang tidak ditepati pada Pilkada sebelumnya dan lain-lain. Ini dilakukan untuk mencerdaskan pemilih. Pelaku kampanye negative biasanya sangat jelas. Tujuannya mendiskreditkan karakter seseorang. Kampanye negatif menggunakan data yang sahih dan dapat dipertanggung jawabkan.
Sedangkan untuk kampanye hitam, seperti menuduh seseorang tidak pantas menjadi pemimpin karena suku, atau ras. Pelaku kampanye hitam tidak jelas. Tujuannya untuk menghancurkan karakter seseorang. Datanya tak sahih atau mengada-ada.
Individu yang melakukan kampanye hitam (bukan tim kampanye atau pelaksana kampanye) di media sosial adalah yang paling besar ancaman pidananya sebab dapat dikenakan sanksi pidana sesuai dengan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Pasal 28 ayat (2) jo Pasal 45 Ayat (2) UU ITE memberikan ancaman hukuman untuk pelaku kampanye hitam di media sosial 6 tahun penjara. (*)