banner 1200x583

Kenapa Pers Mengkritik

Oleh: Ketua Umum Aliansi Media Jurnalis Independen Republik Indonesia, Arham MS

 

banner 1200x783

JURNAL – Sebuah negara tidak akan bisa menjadi negara demokrasi tanpa pers yang bebas. Salah satu fungsi penting pers adalah sosial kontrol. Tanpa menjalankan sosial kontrol justru akan merobohkan demokrasi.

Guru besar sejarah dan kebijakan publik pada Virginia Commonwealth University, Melvin I. Urofsky, mengajukan sebelas prinsip soko guru sistem pemerintahan yang demokratis. Salah satu di antaranya adalah media massa yang bebas.

Sebuah negara, organisasi atau institusi baru dinamakan demokratis bila memungkinkan terjadinya komunikasi tanpa hambatan. Untuk itu pers sebagai salah satu pilar dalam penegakan demokrasi harus dibebaskan dari intervensi pemerintah dan memberi perlindungan kepada siapa saja (sumber) yang ingin mengemukakan pikiran dan pendapatnya.

Demokrasi tidak dapat berdiri tegak tanpa memiliki empat pilar. Pilar legislatif sebagai fungsi aspirasi rakyat, eksekutif sebagai fungsi pemerintahan, yudikatif sebagai fungsi peradilan dan pers sebagai fungsi civil society.

Era reformasi ditandai dengan semakin mantapnya Pers memerankan dirinya sebagai pilar keempat demokrasi (the fourth estate of democracy). Itu berarti pers berperan penting dalam mengawal penyelenggaraan negara ini dengan cara mengkritisi dan mengontrol lembaga-lembaga kekuasaan dan para penguasanya. Dengan begitulah pers dapat menjadi kekuatan penyeimbang bagi ketiga lembaga penyelenggara negara (legislatif, eksekutif dan yudikatif).

Walaupun berada di luar sistem politik formal, keberadaan pers memiliki posisi strategis dalam informasi massa, pendidikan kepada publik sekaligus menjadi alat kontrol sosial. Sebab itu, kebebasan pers menjadi salah satu tolok ukur kualitas demokrasi di sebuah negara. Sebaliknya, tanpa pers maka negara akan berubah menjadi otoriter yang diwarnai dengan penindasan dan kezaliman.

Pemerintah dibentuk sebagai produk demokrasi untuk mensejahterakan rakyat, yang dapat saja menyalahgunakan kekuasaannya dan karena itu harus dikontrol produk demokrasi lain, yakni parlemen. Namun, keduanya bisa saja tidak harmonis dan dapat merugikan rakyat, karena itu keduanya harus dikontrol oleh alat demokrasi lain yang bernama Pers.

Sesungguhnya dalam iklim kebebasan pers, pers mempunyai peran lebih kuat dari ketiga pilar demokrasi lain yang berpotensi melakukan abuse of power. Bahkan pers lebih dipercaya publik ketimbang tiga pilar lain karena tiga dari keempat pilar demokrasi tersebut yakni legislatif, eksekutif dan yudikatif saat ini sedang sakit.

Sebagai fakta yang terjadi saat ini, di lembaga legislatif, marak terjadi transaksi politik yang tidak kredibel. Kondisi eksekutif juga sudah lama mengidap penyakit kronis. Dari tingkat pusat hingga daerah marak terjadi korupsi. Lembaga yudikatif lebih gila lagi, urusan keluarga bahkan dibawa ke lembaga pengawal konstitusi untuk memuluskan dinasti.

Sejak masa reformasi, media massa bermunculan bak cendawan dimusim hujan. Segala warna, segala rupa, segala kualitas, dan segala cara bermunculan. Pers benar-benar eksis di era reformasi. Kekuatan pena jurnalis sangat mewarnai hiruk pikuk demokrasi.

Tak hanya menyuguhkan berbagai informasi, pendidikan dan hiburan ke khalayak, tetapi juga membongkar segala penyimpangan yang terjadi dalam negara. Jika di era Orde Lama dan Orde Baru, pers takut terhadap penguasa, kini justru penguasalah yang ‘takut’ kepada pers karena perannya sebagai watchdog (anjing penggonggong).

Di tengah sakit parahnya lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif, pers tidak boleh menjadi pilar keempat demokrasi yang ikut sakit. Insan pers dan wartawan sejati tentu tidak akan pernah rela membiarkan keadaan akan berlanjut sampai ke arah kehilangan kepercayaan publik.

Pers harus mampu menjaga kredibilitas, menjaga norma-norma sesuai dengan etika. Harus mampu menggapai kapabilitas dengan terus mengasah diri. Pers harus mampu tetap tegak menyangga pilar demokrasi. Mengawasi segala macam ketimpangan, mencegah terjadinya penindasan, pembodohan masyarakat, mampu menjaga kepercayaan dan menyuarakan kebenaran. Pers harus tetap menjadi salah satu tiang penyangga tegaknya demokrasi di bumi Indonesia. Jangan berubah dan jangan pula insan pers yang membuatnya berubah.

Sebagai pilar keempat demokrasi yang masih dipercaya publik terutama dalam melaksanakan fungsi kontrol, pers tidak boleh menjadi “pers caterpillar” atau pers yang tidak menjalankan peran dan fungsinya. Terutama pers yang dengan sengaja hanya menjadi kaki tangan kekuasaan (humas penguasa), tidak melakukan kontrol sosial. Pers semacam itu, sama saja seperti caterpillar (ulat) yang merusak bangunan demokrasi secara perlahan.

Pasalnya, pers yang dengan sengaja atau tidak berani mengkritik kekuasaan sama halnya membiarkan kekuasaan itu bertindak sesukanya. Jika hal itu terjadi, seolah-olah pers melegitimasi segala tindakan (termasuk penindasan) yang dilakukan oleh penguasa.

Sekalipun sering terdapat kesalahan yang dilakukan oleh insan pers, tetapi ada mekanisme yang dapat ditempuh sebagaimana termaktub dalam Undang-undang Pers. Yakni hak jawab dan hak koreksi. Sehingga tidak ada alasan untuk tidak melaksanakan fungsi kontrol, dan juga tidak ada alasan untuk menolak atau menghalangi kerja-kerja jurnalistik. Bahkan semua pihak seharusnya mendukung independensi jurnalis dalam melaksanakan profesinya.

Seperti gelombang yang naik-turun, hubungan antara pers dan penguasa tak pernah terputus. Keduanya saling membutuhkan. Tapi, harap dimaklumi kalau pers lebih cenderung mengkritisi daripada memuji. Itulah pers yang ideal, yang selalu memerankan diri sebagai watchdog of the government.

Sekalipun para penyelenggara negara berkinerja cukup baik, tetap saja pers harus rajin menyalak agar para penguasa itu mawas diri. Apalagi, jika kinerja mereka relatif buruk. Hal itu biasanya menjadi sasaran empuk bagi pers. Karena itulah dapat dimaklumi jika ada sebagian pers yang cenderung lebih suka memotret sisi-sisi jelek pemerintah daripada sisi-sisi bagusnya.

Kenapa Pers Mengkritik?

Pasal 6 huruf d dan e Undang-undang RI Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers, dalam Pasal 6 huruf (d) menyebutkan bahwa pers melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum. Selanjutnya, Pasal 6 huruf (e) menyebutkan bahwa pers memperjuangkan keadilan dan kebenaran. Pasal tersebut sangat jelas menerangkan bahwa pekerjaan dan kinerja pemerintah wajib selalu diawasi, dikoreksi, dan dikritik oleh pers demi terciptanya keadilan dan kebenaran. Sebagai pihak yang menjadi obyek dari pers, maka pemerintah di seluruh tingkatan wajib pula menyadari sedalam-dalamnya mengenai peranan pers.

Sangat mengherankan jika masih ada Jurnalis yang tidak berani melaksanakan amanah tersebut sebagaimana termaktub dalam undang-undang. Padahal, dalam undang-undang sangat jelas menyebutkan bahwa wartawan adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik.

Saat lembaga pers menyatakan bahwa seseorang memenuhi syarat untuk diterima menjadi wartawan maka seharusnya melaksanakan peranan pers seperti disebutkan di atas. Bukan malah berbangga diri bilamana berfoto-foto atau selfie-selfie dengan penguasa yang menjadi obyek sosial kontrol pers.

Sebagian orang yang mengaku wartawan karena mengantongi kartu identitas dan surat tugas dari perusahaan media selama berpuluh-puluh tahun, tetapi tak pernah melaksanakan amanah undang-undang tersebut. Orang kadang lupa bahwa yang dikatakan jurnalis bukanlah orang yang hanya memiliki kartu identitas dan surat tugas karena hal itu hanya sebatas kartu pengenal identitas.

Jurnalis sesungguhnya adalah orang yang secara rutin melaksanakan kegiatan jurnalis seperti melakukan wawancara, menulis berita dan sebagainya. Sehingga dengan demikian, meskipun baru sehari menjadi wartawan kalau mampu melaksanakan kegiatan jurnalis, maka itulah yang sesungguhnya bisa disebut sebagai wartawan.

Sebaliknya, meskipun 99 tahun mengantongi kartu pers tetapi tak pernah melaksanakan kegiatan jurnalis, maka sulit dikategorikan sebagai orang yang berprofesi sebagaimana yang tercantum dalam ketentuan umum undang-undang pers.

Sebagai obyek yang diawasi, dikritik, dan diawasi, sikap pemerintah terhadap pers tidak jarang membuat wartawan jadi heran. Jika pers mengkritik, terkadang pemerintah mencak-mencak tak mau menerima kritikan. Wartawan akan diterima baik jika berita yang dimuat bisa membuatnya tersenyum.

Sehingga hal ini kerap kali membuat hubungan yang kurang harmonis. Seharusnya pemberitaan yang dianggap berseberangan, dijadikan sebagai bahan untuk evaluasi. Walau demikian, diakui bahwa ada segelintir wartawan yang kebablasan dengan mengesampingkan kode etik jurnalistik.

Perlu disadari bersama bahwa profesi wartawan dijamin undang-undang. Sama halnya dengan profesi lain misalnya lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kepolisian, kejaksaan,  pengadilan dan sebagainya, yang melaksanakan tugas berdasarkan undang-undang. Bahkan undang-undang pers adalah lex specialis.

Islam Jamin Kritikan

Islam sangat menghargai perbedaan pendapat dan terbuka dalam menerima kritikan. Tak heran jika kepemimpinan di era Sahabat begitu terbuka atas kritik dan pendapat dari rakyatnya. Abu Bakar Ash-Shiddiq ra ketika pertama kali dipilih menjadi khalifah langsung berpidato yang di antara penggalannya adalah soal keterbukaannya atas kritik jika dalam kepemimpinannya terdapat kesalahan.

Begitu juga Khalifah Umar bin Khattab ra, merupakan pemimpin yang sangat terbuka atas kritik dan pendapat dari rakyat. Cerita tentang kebijakannya soal mahar laki-laki yang langsung diprotes oleh seorang perempuan adalah salah satu dari sekian contohnya. Seketika itu juga Khalifah Umar langsung menarik kembali kebijakannya itu.

Lebih-lebih Khalifah Usman bin Affan ra yang dengan kebesaran hatinya membiarkan para demonstran pengkritiknya mengepung rumahnya selama beberapa hari. Bahkan dirinya meminta para Sahabat yang lain agar tidak mengawalnya. Hingga akhirnya, demonstrasi itu berujung pada terbunuhnya dirinya. Tidak ada pengorbanan yang lebih besar dari sebuah nyawa demi penghargaan atas kebebasan berpendapat.

Tak sedikit teks dalil yang menganjurkan untuk taat kepada pemerintah. Namun, bukan berarti dalam perspektif as-Siyasah, pemerintah tidak dapat dikritik. Sebuah riwayat dari Nabi, dinyatakan bahwa sebaik-baiknya jihad adalah menyatakan kebenaran (mengkritik) di sisi pemerintah yang lalim.

Begitulah perpsektif as-Siyasah dalam memandang kritik atas pemerintah. Kritik, meskipun pahit, merupakan harta berharga yang harus dirawat oleh negara atas nama kebebasan berpendapat, nasihat kepada pemimpin, serta merawat akal sehat.

banner 2000x1100

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *